.

.
.

Rabu, 22 Desember 2010

Ibuku Seorang Pembohong


Dapat message inspiratif sekali dari seorang kawan tentang Ibu, aku share di sini yah…

Sukar untuk orang lain percaya, tapi itulah yang terjadi, ibuku memang seorang pembohong! Sepanjang ingatan saya sekurang-kurangnya delapan kali ibu membohongiku. Aku perlu catatkan segala pembohongan itu untuk dijadikan renungan anda sekalian. Cerita ini bermula ketika aku masih kecil. Aku lahir sebagai seorang anak lelaki dalam sebuah keluarga sederhana. Makan minum serba kekurangan.

Pembohongan Ibu yang Pertama
Kami sering kelaparan. Adakalanya, selama beberapa hari kami terpaksa makan ikan asin satu keluarga. Sebagai anak yang masih kecil, aku sering merengut. Aku menangis, ingin nasi dan lauk yang banyak. Tapi ibu pintar berbohong. Ketika makan, ibu sering membagikan nasinya untukku. Sambil memindahkan nasi ke mangkukku, ibu berkata : “Makanlah nak ibu tak lapar.”


Pembohongan Ibu yang Kedua
Ketika aku mulai besar, ibu yang gigih sering meluangkan waktu senggangnya untuk pergi mencari ikan di sungai sebelah rumah. Ibu berharap dari hasil pencarian ikannya dapat memberikan sedikit makanan untuk membesarkan kami. Ibu pun memasak ikan segar yang mengundang selera. Sewaktu aku memakan ikan itu, ibu duduk di samping kami dan memakan sisa daging ikan yang masih menempel di tulang bekas sisa ikan yang aku makan tadi.

Aku sedih melihat ibu seperti itu. Hatiku tersentuh lalu memberikan ikan yang belum aku makan kepada ibu. Tetapi ibu dengan cepat menolaknya. Ibu berkata : “Makanlah nak, ibu tak suka makan ikan.”






Pembohongan Ibu yang Keempat
Di awal remaja, aku masuk sekolah menengah. Ibu biasa membuat kue untuk dijual sebagai tambahan uang saku kami. Suatu saat, pada dinihari lebih kurang pukul 1.30 pagi aku terjaga dari tidur. Aku melihat ibu membuat kue dengan ditemani lilin di hadapannya. Beberapa kali aku melihat kepala ibu terangguk karena mengantuk. Aku berkata : “Ibu, tidurlah, esok pagi ibu kan pergi ke kebun pula.” Ibu tersenyum dan berkata : “Cepatlah tidur nak, ibu belum mengantuk.”

Pembohongan Ibu yang Keempat
Di akhir masa ujian sekolahku, ibu tidak pergi berjualan kue seperti biasa supaya dapat menemaniku pergi ke sekolah untuk turut menyemangatiku. Ketika hari sudah siang, terik panas matahari mulai menyinari, ibu terus sabar menungguku di luar. Ibu seringkali saja tersenyum dan mulutnya komat-kamit berdoa kepada Illahi agar aku lulus ujian dengan cemerlang. Ketika lonceng berbunyi menandakan ujian sudah selesai, ibu dengan segera menyambutku dan menuangkan minuman yang sudah disiapkan dalam botol yang dibawanya. Melihat tubuh ibu yang dibasahi peluh, aku segera memberikan cawanku itu kepada ibu. Tapi ibu cepat-cepat menolaknya dan berkata : “Minumlah nak, ibu tak haus!”.

Pembohongan Ibu yang Kelima
Setelah ayah meninggal karena sakit, ibulah yang mengambil tugas sebagai kepala keluarga. Ibu berusaha bekerja sebisa mungkin agar kami tidak kelaparan. Tapi apalah daya seorang ibu. Kehidupan keluarga kami semakin susah dan susah. Melihat keadaan keluarga yang semakin parah, seorang tetangga yang baik hati dan tinggal bersebelahan dengan kami, datang untuk membantu ibu. Anehnya, ibu menolak bantuan itu… Para tetangga sering kali menasihati ibu supaya menikah lagi agar ada seorang lelaki yang menjaga dan mencarikan nafkah untuk kami sekeluarga… Tetapi ibu yang keras hatinya tidak mengindahkan nasihat mereka. Ibu berkata : “Saya tidak perlu cinta dan saya tidak perlu laki-laki”.

Pembohongan Ibu yang Keenam
Setelah kami tamat sekolah dan mulai bekerja, ibu pun sudah tua. Kami meminta ibu supaya istirahat saja di rumah. Tidak lagi bersusah payah untuk mencari uang. Tetapi ibu tidak mau. Kami pernah mengirimkan uang untuk membantu memenuhi keperluan ibu, namun ibu tetap berkeras tidak mau menerima uang tersebut. Malah ibu mengirim balik uang itu, dan ibu berkata : “Jangan susah-susah, ibu ada uang”.

Pembohongan Ibu yang Ketujuh
Setelah lulus kuliah, aku melanjutkan mengejar gelar sarjana di luar negeri. Kebutuhanku di sana dibiayai sepenuhnya oleh sebuah perusahaan besar. Gelar sarjana itu aku selesaikan dengan cemerlang, kemudian aku pun bekerja di perusahaan yang telah membiayai sekolahku di luar negeri. Dengan gaji yang agak lumayan, aku berniat membawa ibu untuk menikmati penghujung hidupnya bersama aku di luar negari. Menurut hematku, ibu sudah puas bersusah payah untuk kami. Hampir seluruh hidupnya habis dengan penderitaan, pantaslah kalau hari-hari tuanya ibu habiskan dengan keceriaan dan keindahan pula. Tetapi ibu yang baik hati, menolak ajakanku. Ibu tidak mau menyusahkan anaknya ini dengan berkata; “Tak usahlah nak, ibu tak bisa tinggal di negara orang”.

Pembohongan Ibu yang Kedelapan
Beberapa tahun berlalu, ibu semakin tua. Suatu malam aku menerima berita ibu diserang penyakit kanker di leher, yang akarnya telah menjalar kemana-mana. Ibu mesti dioperasi secepat mungkin. Aku yang ketika itu berada jauh di seberang samudera segera pulang untuk menjenguk ibunda tercinta. Aku melihat ibu terbaring lemah di rumah sakit, setelah menjalani pembedahan. Ibu yang kelihatan sangat tua, menatap wajahku dengan penuh kerinduan. Ibu menghadiahkan aku sebuah senyuman yang agak kaku karena menahan sakit yang menjalari setiap inci tubuhnya. Aku dapat melihat dengan jelas betapa kejamnya penyakit itu telah menggerogoti tubuh ibu, sehingga ibu menjadi terlalu lemah dan kurus. Aku menatap wajah ibu sambil berlinangan air mata. Aku cium tangan ibu kemudian saya kecup pula pipi dan dahinya. Di saat itu hatiku terlalu pedih, sakit sekali melihat ibu dalam keadaan seperti ini. Tetapi ibu tetap tersenyum dan berkata : “Jangan menangis nak, ibu tak sakit”.

Setelah mengucapkan pembohongan yang kedelapan itu, ibunda tercinta menutup matanya untuk terakhir kali. Dibalik kebohongannya, tersimpan cintanya yang begitu besar bagi anak-anaknya.

Anda beruntung karena masih mempunyai orangtua… Anda boleh memeluk dan menciumnya. Kalau orangtua anda jauh dari mata, anda boleh menelponnya sekarang, dan berkata, “Ibu/Ayah, saya sayang ibu/ayah”. Tetapi hingga akhir hayatnya, aku tak sempat lakukan itu, hingga kini aku diburu rasa bersalah yang amat sangat karena biarpun saya mengasihi ibu lebih dari segala-galanya, tapi tidak pernah sekalipun saya membisikkan kata-kata itu ke telinga ibu, sampailah saat ibu menghembuskan nafasnya yang terakhir.

Ibu, maafkan aku. Aku sayang ibu… 



Artikel menarik lainya:

2 komentar:

tehlina mengatakan...

ceritanya sangat mengharu biru menyentuh perasaanku, terima kasih sudah mengingatkan saya.

KuMan AIDS mengatakan...

Sama-sama Teh... Terima kasih sudah berkunjung....